Makna dan Kategori Tauhid

Mentauhidkan Allah bermakna mengesakan Allah dalam hal-hal yang merupakan kekhususan-Nya.

Di antara contoh hal-hal yang merupakan kekhususan Allah adalah bahwa hanya Allah yang menciptakan seluruh apa yang ada di alam semesta. Oleh karena itu, jika kita meyakini bahwa ada pencipta lainnya selain Allah yang menciptakan alam semesta ini atau menciptakan sebagiannya walaupun satu makhluk saja, maka ini adalah kesyirikan.

Contoh lain dari hal-hal yang merupakan kekhususan Allah adalah bahwa hanya Allah yang memiliki ilmu yang sempurna, yang mengetahui tentang perkara ghaib, dan mengetahui tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Oleh karena itu, jika kita meyakini bahwa ada orang yang mengetahui tentang perkara ghaib dan masa depan, padahal orang tersebut bukan nabi atau rasul yang bisa mengetahui hal-hal tersebut karena telah diwahyukan oleh Allah, maka ini adalah kesyirikan, walaupun orang itu disebut sebagai syaikh atau wali oleh orang-orang di sekitarnya.

Dan contoh lainnya dari hal-hal yang merupakan kekhususan Allah adalah bahwa hanya Allah yang berhak untuk diibadahi. Oleh karena itu, jika kita meyakini bahwa kita boleh meminta syafa’at kepada wali yang sudah meninggal dengan cara pergi menziarahi kuburannya dan meminta syafa’at dari penghuni kubur yang dikeramatkan tersebut, maka ini adalah kesyirikan, karena meminta syafa’at itu adalah ibadah sehingga ia tidak boleh diarahkan kepada selain Allah.

Para ulama’ membagi tauhid menjadi dua kategori.

Pertama: Mentauhidkan Allah dalam perkara rububiyyah dan asma’ wa shifat. Yaitu, meyakini bahwa hanya Allah yang menciptakan seluruh apa yang ada di alam semesta, hanya Allah yang memberikan rizki kepada makhluk-Nya, hanya Allah yang mengatur dan memelihara alam semesta, hanya Allah yang bisa menghidupkan dan mematikan, hanya Allah yang bisa memberikan mashlahat dan madharat, dan hanya Allah yang memiliki Nama-Nama yang mulia dan Sifat-Sifat yang sempurna.

Kedua: Mentauhidkan Allah dalam perkara uluhiyyah. Yaitu, meyakini bahwa hanya Allah yang berhak untuk diibadahi, sehingga wajib bagi kita untuk mengarahkan doa hanya kepada Allah, bernadzar hanya kepada Allah, meminta syafa’at hanya kepada Allah, meminta perlindungan hanya kepada Allah, dan bentuk-bentuk ibadah lainnya hanya boleh kita arahkan kepada Allah saja tanpa selain-Nya.

Alasan para ulama’ membagi tauhid menjadi dua kategori seperti ini adalah agar kaum muslimin memahami bahwa jika kita mentauhidkan Allah hanya dengan salah satu kategorinya saja maka itu belum mencukupi. Lihatlah bagaimana orang-orang kafir dan musyrik Quraisy ternyata memiliki kategori pertama dari tauhid di atas, tetapi mereka tetap dianggap sebagai orang kafir dan musyrik oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga itu mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada mereka dan juga kepada seluruh umat manusia untuk mendakwahkan Islam dan mengajarkan tauhid yang benar sesuai dengan yang diridhai oleh Allah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّـهُ

“Dan sesungguhnya jika kamu bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan mereka?’ Niscaya mereka akan menjawab, ‘Allah.’”[1]

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّـهُ

“Dan sesungguhnya jika kamu bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?’ Niscaya mereka akan menjawab, ‘Allah.’”[2]

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّن نَّزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِن بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّـهُ

“Dan sesungguhnya jika kamu bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?’ Niscaya mereka akan menjawab, ‘Allah.’”[3]

قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَن يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ الْأَمْرَ ۚ فَسَيَقُولُونَ اللَّـهُ

“Katakanlah, ‘Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang menguasai pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur seluruh urusan?’ Maka niscaya mereka akan menjawab, ‘Allah.’”[4]

Walaupun orang-orang kafir Quraisy tersebut telah menetapkan bahwa Allah adalah Tuhan mereka, yang menciptakan mereka dan seluruh apa yang ada di alam semesta, yang mengatur dan memelihara alam semesta, yang memberikan rizki kepada mereka, dan yang menghidupkan dan mematikan, maka itu tidaklah cukup untuk menjadikan mereka sebagai muslim dan sebagai orang yang bertauhid. Allah Subhanahu wa Ta’ala masih mengutus Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendakwahkan Islam dan mengajarkan tauhid yang benar kepada mereka, karena mereka tidak memiliki kategori tauhid yang kedua. Mereka tidak mengarahkan ibadah hanya kepada Allah saja. Mereka masih meminta syafa’at kepada selain Allah, bernadzar kepada selain Allah, menyembelih kepada selain Allah, meminta perlindungan kepada selain Allah, meminta keberkahan kepada selain Allah, dan sebagainya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّـهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَـٰؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِندَ اللَّـهِ

“Mereka beribadah kepada selain Allah, apa yang tidak dapat mendatangkan madharat kepada mereka dan tidak pula manfaat, dan mereka berkata, ‘Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di Sisi Allah.’”[5]

أَمِ اتَّخَذُوا مِن دُونِ اللَّـهِ شُفَعَاءَ ۚ قُلْ أَوَلَوْ كَانُوا لَا يَمْلِكُونَ شَيْئًا وَلَا يَعْقِلُونَ * قُل لِّلَّـهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا ۖ لَّهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

“Atau apakah mereka mengambil pemberi syafa’at selain Allah? Katakanlah, ‘Dan apakah (kamu mengambilnya juga) meskipun mereka tidak memiliki sesuatu apa pun dan tidak berakal?’ Katakanlah, ‘Hanya kepunyaan Allah syafa’at itu seluruhnya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.’”[6]

Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mentauhidkan Allah dengan kedua kategori tauhid di atas. Mentauhidkan Allah dengan salah satu kategori tauhid saja tidaklah mencukupi, karena inilah keadaan orang-orang kafir Quraisy, di mana mereka hanya mentauhidkan Allah dengan kategori tauhid yang pertama, tetapi tidak mentauhidkan Allah dengan kategori tauhid yang kedua.

Kemudian, seiring berjalannya waktu dan semakin bertambahnya pemahaman yang menyimpang di tengah-tengah kaum muslimin tentang Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah, seperti keyakinan bahwa Allah tidak memiliki Nama dan Sifat, atau keyakinan bahwa Allah ada di mana-mana, atau keyakinan bahwa Allah memiliki tujuh sifat atau dua puluh sifat kemudian Sifat-Sifat lainnya yang disebutkan dalam ayat dan hadits itu dita’wil atau diselewengkan maknanya oleh mereka tanpa dalil sama sekali dari Qur’an dan Sunnah.

Dua puluh sifat ini adalah seperti yang banyak disebutkan oleh orang-orang: wujud, qidam, baqa’, mukhalafatu lil-hawaditsi, qiyamuhu bi-nafsihi, wahdaniyyah, qudrat, iradat, ‘ilmu, hayat, sama’, bashar, kalam, qadiran, muridan, ‘aliman, hayyan, sami’an, bashiran, mutakalliman. Kita katakan kepada mereka, di mana Sifat Rahmat dari Allah, di mana Sifat Ridha’ dari Allah, di mana Sifat Istiwa’ di atas ‘arsy, dan di mana Sifat-Sifat Allah lainnya yang disebutkan di dalam Qur’an dan Sunnah? Yang mereka lakukan adalah menta’wil atau menyelewengkan makna dari Sifat-Sifat ini menjadi makna lain yang berbeda dengan makna zhahirnya, padahal tidak ada dalilnya sama sekali dari Qur’an dan Sunnah yang mendukung keyakinan mereka tersebut.

Oleh karena itu, untuk memudahkan kaum muslimin dalam mempelajari tauhid yang benar, para ulama’ kemudian membagi tauhid menjadi tiga kategori, yaitu dengan memecah kategori pertama dari tauhid di atas menjadi dua kategori yang berbeda.

Pertama: Tauhid rububiyyah, yaitu meyakini bahwa hanya Allah yang menciptakan seluruh apa yang ada di alam semesta, hanya Allah yang memberikan rizki kepada makhluk-Nya, hanya Allah yang mengatur dan memelihara alam semesta, hanya Allah yang bisa menghidupkan dan mematikan, hanya Allah yang bisa memberikan mashlahat dan madharat.

Kedua: Tauhid asma’ wa shifat, yaitu meyakini bahwa hanya Allah yang memiliki Nama-Nama yang mulia dan Sifat-Sifat yang sempurna, dan wajib bagi kita untuk:

  • menetapkan Nama dan Sifat yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan di dalam Qur’an dan Sunnah tanpa tahrif (menyelewengkan lafazh atau maknanya) dan ta’thil (menafikannya), dan juga tanpa takyif (menanyakan bagaimananya) dan tamtsil (menyerupakan dengan sifat makhluk-Nya),
  • menafikan apa yang Allah dan Rasul-Nya nafikan di dalam Qur’an dan Sunnah,
  • tidak membahas sifat yang tidak disebutkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Ketiga: Tauhid uluhiyyah, yaitu meyakini bahwa hanya Allah yang berhak untuk diibadahi, sehingga wajib bagi kita untuk mengarahkan doa hanya kepada Allah, bernadzar hanya kepada Allah, meminta syafa’at hanya kepada Allah, meminta perlindungan hanya kepada Allah, dan bentuk-bentuk ibadah lainnya hanya boleh kita arahkan kepada Allah saja tanpa selain-Nya.

Penulis: Ustadz Dr. Andy Octavian Latief
Artikel Al-Minhaj Institute

Catatan Kaki:
  1. Surat az-Zukhruf: 87. []
  2. Surat al-’Ankabut: 61. []
  3. Surat al-’Ankabut: 63. []
  4. Surat Yunus: 31. []
  5. Surat Yunus: 18. []
  6. Surat az-Zumar: 44. []

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top