بسم الله الرحمن الرحيم
Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
[أن التفسير نوعان]
العلم: إما نقل مصدَّق، وإما استدلال محقَّق. وما سوى ذلك: فإما مزيَّف مردود، وإما موقوف لا يُعلَم أنه بهرج ولا منقود.
فالتفسير نوعان: التفسير بالأثر والتفسير بالرأي.
[Tafsir itu ada dua jenis]
Ilmu itu bisa berupa nukilan yang benar atau berupa istidlal yang akurat. Adapun selainnya, maka bisa berupa kebathilan yang tertolak atau berupa sesuatu yang ditangguhkan, tidak diketahui apakah ia adalah sesuatu yang palsu atau sesuatu yang dibantah.
Maka tafsir itu ada dua jenis: tafsir dengan atsar dan tafsir dengan ra’yi.
[التفسير بالأثر]
أما التفسير بالأثر: فإما أن يكون عن معصوم — كحديث النبي صلى الله عليه وسلم إذا صح إسناده، وإجماع الصحابة والتابعين إذا ثبت انعقاده — ، وإما أن يكون عن غير معصوم، كالمنقول عن أفراد الصحابة والتابعين.
[Tafsir dengan atsar]
Adapun tafsir dengan atsar, maka bisa berasal dari yang ma’shum — seperti hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika shahih sanadnya, atau seperti ijma’ sahabat dan tabi’in jika terbukti adanya — , atau bisa berasal dari yang tidak ma’shum, seperti nukilan dari individu sahabat dan tabi’in.
[تفسير القرآن بالقرآن]
وأحسن طرق التفسير: أن يفسَّر القرآن بالقرآن.
فما أُجمل في مكان فإنه قد فُسِّر في موضع آخر، وما اختُصر في مكان فإنه قد بُسط في موضع آخر.
[Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an]
Metode tafsir yang paling baik: menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an.
Apa yang disebut secara umum di sebuah tempat, maka ia diperinci di tempat lain. Dan apa yang disebut secara ringkas di sebuah tempat, maka ia dijelaskan di tempat lain.
[تفسير القرآن بالسنة]
فإن أعياك ذلك فعليك بالسنة، فإنها شارحة للقرآن وموضِّحة له.
[Tafsir al-Qur’an dengan as-Sunnah]
Jika tidak bisa dilakukan, maka tafsirkanlah dengan menggunakan as-Sunnah, karena ia menjelaskan dan menerangkan al-Qur’an.
[تفسير القرآن بقول الصحابة]
وإذا لم تجد التفسير في القرآن ولا في السنة رجعت في ذلك إلى أقوال الصحابة.
[Tafsir al-Qur’an dengan perkataan sahabat]
Jika engkau tidak menemukan tafsirnya dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah, maka merujuklah kepada perkataan para sahabat.
[اختلاف التنوع]
وإذا اختلفوا فالغالب أنه اختلاف تنوع، لا اختلاف تضاد. وذلك صنفان:
أحدهما: أن يعبِّر كل واحد منهما عن المراد بعبارة غير عبارة صاحبه، تدل على معنى في المسمى غير المعنى الآخر مع اتحاد المسمى، بمنزلة الأسماء المتكافئة التي بين المترادفة والمتباينة.
والثاني: أن يذكر كل منهم من الاسم العام بعض أنواعه، على سبيل التمثيل وتنبيه المستمع على النوع، لا على سبيل الحد المطابق للمحدود في عمومه وخصوصه.
[Ikhtilaf tanawwu’]
Jika mereka berselisih pendapat, maka sebagian besarnya adalah ikhtilaf tanawwu’, bukan ikhtilaf tadhad. Dan ia terdiri atas dua jenis:
Pertama: Setiap dari mereka menggunakan lafazh yang berbeda dengan lafazh orang lain, yang menunjukkan makna yang berbeda dengan makna yang disebutkan oleh orang lain tersebut, walaupun yang dimaksudkan sebenarnya sama. Ini termasuk kategori nama-nama yang mutakafi’ah, yang terletak di antara mutaradifah dan mutabayinah.
Kedua: Setiap dari mereka menyebutkan sebagian jenis dari sebuah nama yang umum, di mana menyebutkannya dalam rangka sebagai contoh dan memberikan pemahaman kepada pendengar tentang jenis tersebut, bukan dalam rangka sebagai definisi yang benar-benar tepat, baik dalam keumumannya ataupun dalam kekhususannya.
[اختلاف التنوع الذي يرجع إلى سبب النزول]
والعبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب.
ومعرفة سبب النزول يعين على فهم الآية، فإن العلم بالسبب يورث العلم بالمسبَّب.
وقولهم: (نزلت هذه الآية في كذا) يُراد به تارة أنه سبب النزول، ويُراد به تارة أن هذا داخل في الآية وإن لم يكن السبب.
وإذا ذكر أحدهم لها سببا نزلت لأجله، وذكر الآخر سببا، فقد يمكن صدقهما بأن تكون نزلت عقب تلك الأسباب، أو تكون نزلت مرتين.
[Ikhtilaf tanawwu’ yang disebabkan oleh sababun-nuzul]
‘Ibrahnya ada pada keumuman lafazh, bukan pada kekhususan sebab.
Mengetahui sababun-nuzul membantu kita untuk memahami ayat, karena memiliki ilmu tentang sebab akan membuat kita memiliki ilmu tentang ayat tersebut.
Dan perkataan mereka, “Ayat ini turun tentang hal ini dan itu,” maka terkadang maksudnya adalah sebab turunnya ayat, dan terkadang maksudnya adalah bahwa hal tersebut tercakup dalam makna ayat, walaupun ia bukanlah sebab turunnya ayat tersebut.
Jika salah seorang dari mereka menyebutkan sebab turunnya sebuah ayat, kemudian orang lain menyebutkan sebab lainnya, maka keduanya bisa sama-sama benar karena ayat itu turun setelah sebab-sebab tersebut, atau karena ayat itu turun dua kali.
[اختلاف التنوع الذي يرجع إلى اللغة]
وما يكون اللفظ فيه محتملا للأمرين — إما لكونه مشتركا في اللغة، وإما لكونه متواطئا في الأصل لكن المراد به أحد النوعين — فمثل هذا قد يجوز أن يُراد به كل المعاني التي قالها السلف وقد لا يجوز ذلك.
فالأول: إما لكون الآية نزلت مرتين، وإما لكون اللفظ المشترك يجوز أن يُراد به معنياه، وإما لكون اللفظ متواطئا، فيكون عاما إذا لم يكن لتخصيصه موجب.
ومن الأقوال الموجودة عنهم ويجعلها بعض الناس اختلافا: أن يعبِّروا عن المعاني بألفاظ متقاربة لا مترادفة، فإن الترادف في اللغة قليل — وأما في ألفاظ القرآن فإما نادر وإما معدوم، وهذا من أسباب إعجاز القرآن — ، وأن العرب تضمِّن الفعل معنى الفعل وتعدِّيه تعديته — ومن هنا غلط من جعل بعض الحروف تقوم مقام بعض.
[Ikhtilaf tanawwu’ yang disebabkan oleh bahasa]
Jika sebuah lafazh mengandung dua kemungkinan makna — bisa jadi karena lafazh tersebut secara bahasa adalah lafazh musytarak, atau bisa jadi karena ia adalah lafazh mutawathi’ pada sebuah makna pokok, akan tetapi yang dimaksudkan adalah salah satu maknanya — , maka yang seperti ini bisa jadi boleh bagi kita untuk mengambil semua makna yang disebutkan oleh para salaf tersebut, dan bisa jadi tidak boleh.
Maka untuk kemungkinan yang pertama, bisa jadi karena ayat tersebut turun dua kali, atau lafazh tersebut adalah lafazh musytarak dan bisa dipahami dengan kedua maknanya, atau lafazh tersebut memiliki makna pokok, sehingga ia tetap dalam keumumannya jika tidak ada indikasi yang mengharuskan untuk mengkhususkannya.
Di antara perkataan salaf yang dianggap sebagai ikhtilaf oleh sebagian orang adalah: mereka menyampaikan sebuah makna dengan lafazh yang mirip, bukan dengan lafazh yang sinonim, karena sinonim dalam bahasa Arab itu sedikit — adapun sinonim dalam lafazh al-Qur’an maka bisa jadi jarang sekali atau bahkan tidak ada, dan ini adalah di antara sebab mukjizatnya al-Qur’an — , dan bahwa orang Arab memasukkan makna sebuah kata kerja ke dalam kata kerja lainnya dan menyamakannya dalam aspek transitifnya — maka di sini sebagian orang telah melakukan kesalahan ketika mereka menjadikan sebagian huruf itu menempati tempat sebagian huruf yang lain.
[تفسير القرآن بقول التابعين]
إذا لم تجد التفسير في القرآن، ولا في السنة، ولا وجدته عن الصحابة: فقد رجع كثير من الأئمة في ذلك إلى أقوال التابعين.
وليس قول بعضهم حجة على بعض، ولا على مَن بعدهم. والاختلاف بينهم أكثر من الاختلاف بين الصحابة. وكلما كان العصر أشرف، كان الاجتماع والائتلاف والعلم والبيان فيه أكثر.
[Tafsir al-Qur’an dengan perkataan tabi’in]
Jika engkau tidak menemukan tafsirnya dalam al-Qur’an, as-Sunnah, maupun perkataan sahabat, maka banyak dari para imam yang merujuk kepada perkataan para tabi’in.
Perkataan sebagian dari mereka bukanlah hujjah atas sebagian lainnya, dan bukan pula hujjah atas orang-orang setelah mereka. Ikhtilaf di antara mereka lebih banyak daripada ikhtilaf di antara para sahabat. Semakin mulia sebuah generasi maka semakin kuat persatuan, kesepakatan, ilmu, dan penjelasan yang ada pada mereka.
[الإسرائيليات]
والإسرائيليات تُذكَر للاستشهاد لا للاعتقاد، وهي كثيرة في تفسير التابعين.
وهي على أربعة أقسام: ما علمنا صحته بما عندنا مما يصدِّقه، وما علمنا كذبه بما عندنا مما يخالفه، وما تحيله العقول، وما هو مسكوت عنه — فلا نؤمن به ولا نكذِّبه ولكن تجوز حكايته ونقل الخلاف عنهم في ذلك، وغالبه مما لا فائدة فيه تعود إلى أمر ديني.
[Isra’iliyyat]
Isra’iliyyat disebutkan sekadar sebagai bukti penguat, bukan untuk diyakini. Ia banyak ditemukan di tafsir para tabi’in.
Ia terdiri atas empat jenis: Apa yang kita ketahui kebenarannya karena kita memiliki bukti yang membenarkannya, apa yang kita ketahui kedustaannya karena kita memiliki bukti yang menyelisihinya, apa yang tidak masuk akal, dan apa yang statusnya masih ditangguhkan — maka kita tidak mengimaninya dan juga tidak mendustakannya, akan tetapi boleh menukilnya dan menyebutkan khilaf tentangnya, dan sebagian besarnya adalah hal-hal yang tidak berfaidah secara agama.
[النقل المقبول في التفسير]
ثلاثة أمور ليس لها إسناد: التفسير والملاحم والمغازي، لأن الغالب عليها المراسيل.
ولكنها مقبولة: إذا تلقاها أهل العلم بالقبول والتصديق وأجمعوا عليها، أو إذا تعددت الطرق بغير المواطأة قصدا والاتفاق بغير قصد، أو إذا اشتركت في أصل المعنى وإن كانت الألفاظ مختلفة.
فالأول لأن الأمة لا تجتمع على خطأ، والثاني لأن النقل إذا كان بغير تعمد الكذب ووقوع الخطأ فهو صدق، والثالث لأن بعضها يعضد بعضا.
[Nukilan yang diterima dalam tafsir]
Tiga hal yang tidak memiliki sanad: tafsir, malahim, dan maghaziy, karena sebagian besar riwayatnya adalah marasil.
Akan tetapi riwayat tersebut diterima: jika para ahli ilmu telah menerimanya, membenarkannya, dan mereka bersepakat atasnya, atau jika sanadnya itu banyak tanpa ada kesepakatan untuk mengarangnya secara sengaja dan juga tanpa ada kebetulan yang tidak disengaja, atau jika memiliki kesamaan dalam makna pokoknya walaupun lafazhnya berbeda-beda.
Maka, yang pertama itu karena umat Islam tidak akan bersepakat di atas kesalahan, yang kedua itu karena nukilan jika tanpa disertai kedustaan yang disengaja dan kesalahan yang tidak disengaja maka nukilan itu benar, dan yang ketiga itu karena sebagiannya mendukung sebagian lainnya.
[التفسير بالرأي]
وأما التفسير بالرأي فنوعان:
أحدهما: التفسير بمجرد الرأي وهو حرام.
فمن قال في القرآن برأيه فقد تكلَّف ما لا علم له به، وسلك غير ما أُمر به. فلو أنه أصاب المعنى في نفس الأمر لكان قد أخطأ، لأنه لم يأت الأمر من بابه، لكن يكون أخف جرما ممن أخطأ.
والثاني: التفسير بالاجتهاد وهو يجوز.
قال ابن عباس: التفسير على أربعة أوجه: وجه تعرفه العرب من كلامها، وتفسير لا يُعذَر أحد بجهالته، وتفسير يعلمه العلماء، وتفسير لا يعلمه إلا الله.
[Tafsir dengan ra’yi]
Adapun tafsir dengan ra’yi, maka ada dua jenis:
Pertama: Tafsir dengan sekadar akal, maka ini haram.
Barangsiapa yang berkata tentang al-Qur’an dengan akalnya maka dia telah memaksakan sesuatu yang dia tidak memiliki ilmu tentangnya, dan tidak menapaki jalan yang telah diperintahkan untuknya. Jika tafsirnya tersebut ternyata kebetulan benar, maka dia tetap melakukan kesalahan, karena dia tidak memasuki perkara tafsir ini dari pintunya. Akan tetapi, ini lebih ringan daripada jika tafsirnya tersebut ternyata salah.
Kedua: Tafsir dengan ijtihad, maka ini boleh.
Ibn ‘Abbas berkata: Tafsir itu ada empat macam: tafsir yang diketahui oleh orang Arab melalui bahasa mereka, tafsir yang tidak seorang pun diberikan ‘udzur jika tidak tahu tentangnya, tafsir yang hanya diketahui oleh para ulama’, dan tafsir yang tidak diketahui oleh seorang pun kecuali Allah.
[الخطأ في التفسير بمجرد الرأي]
والتفسير بمجرد الرأي يقع فيه الخطأ من وجهين:
أحدهما: أن يعتقد اعتقادات باطلة ثم فسَّر القرآن على وفق ما يعتقده.
والثاني: أن يفسَّر القرآن بمجرد احتمال اللفظ في اللغة، من غير نظر إلى المتكلِّم بالقرآن، والمنزَّل عليه، والمخاطَب به، وسياق الكلام.
[Kesalahan dalam tafsir dengan sekadar ra’yi]
Tafsir dengan sekadar ra’yi, maka bisa terjadi kesalahan dari dua sisi:
Pertama: Meyakini akidah yang menyimpang lalu menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan apa yang diyakininya tersebut.
Kedua: Menafsirkan al-Qur’an dengan sekadar kemungkinan makna lafazh dalam bahasa Arab, tanpa melihat pada siapa yang memfirmankan al-Qur’an tersebut, siapa yang al-Qur’an itu diturunkan kepadanya, siapa yang diajak bicara dalam ayat tersebut, dan konteks perkataannya.
Catatan: Ini adalah terjemahan dari karya kami matan Kasyful-Basha’ir fiy Ikhtishari Muqaddimati Syaikhil-Islam fiy Ushulit-Tafsir.
Penulis: Ustadz Dr. Andy Octavian Latief
Artikel Al-Minhaj Institute