Haruskah Aku Bermadzhab?

Di antara permasalahan yang banyak diperdebatkan oleh kalangan penuntut ilmu dan kaum muslimin secara umum adalah mengenai hukum bermadzhab. Haruskah aku bermadzhab? Apakah bermadzhab itu adalah sesuatu yang terpuji atau bahkan tercela? Dan bukankah bermadzhab itu akan mengarah pada fanatisme buta yang itu tercela?

Untuk menjawab berbagai pertanyaan ini, harus kita ketahui terlebih dahulu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala membagi manusia menjadi dua kategori pada firman-Nya,

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Bertanyalah kepada ahli ilmu jika engkau tidak mengetahui.”[1]

Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dua kategori manusia beserta kewajibannya masing-masing. Kategori pertama adalah mujtahid, di mana Allah menyifatinya sebagai orang yang berilmu dan Allah perintahkan dia untuk mengarahkan umat kepada al-haq dan menjawab berbagai pertanyaan mereka dengan menyampaikan hukum-hukum yang telah Allah tetapkan. Dan kategori kedua dari manusia yang disebutkan pada ayat di atas adalah muqallid, di mana Allah menyifatinya dengan ketiadaan ilmu dan Allah perintahkan dia untuk bertanya kepada ahli ilmu jika dia tidak mengetahui.

Mujtahid adalah seseorang yang mampu dan boleh untuk melakukan ijtihad, di mana ijtihad adalah

استفراغ الفقيه وسعه لدرك حكم شرعي.

“Pengerahan segenap upaya oleh seorang faqih untuk mengetahui sebuah hukum syar’iy.”[2]

Seseorang baru boleh berijtihad jika terpenuhi beberapa syarat berikut:

  1. Mengetahui dalil-dalil syar’iy tentang suatu masalah dari segi shahih dan dha’if-nya.
  2. Mengetahui bahasa Arab sehingga dia mampu untuk memahami makna ayat dan hadits.
  3. Mengetahui kaidah-kaidah ushul fikih dan dapat menerapkannya, seperti mengetahui tentang dalalatul-alfazh.
  4. Mengetahui asbabun-nuzul dari ayat dan juga asbabul-wurud dari hadits.
  5. Mengetahui masalah-masalah yang telah ada ijma’ para ulama’ di dalamnya.
  6. Mengetahui mana dalil yang nasikh dan mansukh.

Seseorang yang telah memenuhi syarat-syarat di atas maka dia sudah mampu untuk berijtihad, bahkan wajib baginya untuk berijtihad ketika ada sebuah permasalahan yang butuh untuk diketahui hukum syar’iy yang berkaitan dengannya. Tidak boleh baginya untuk mengikuti pendapat mujtahid lain tanpa dia sendiri melakukan proses ijtihad tersebut, kecuali jika waktunya sudah sedemikian sempit sehingga pada kondisi ini baru boleh baginya untuk mengikuti pendapat mujtahid lain.

Adapun muqallid, maka dia adalah seseorang yang melakukan taqlid, di mana taqlid adalah

أخذ مذهب الغير بلا معرفة دليله.

“Mengambil pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya.”[3]

Oleh karena itu, seseorang itu berada di antara dua kondisi: antara dia adalah seorang mujtahid atau muqallid. Jika dia tidak memenuhi syarat-syarat sebagai mujtahid, maka dia adalah muqallid, baik apakah dia melakukan taqlid kepada imam madzhab tertentu atau kepada ulama’ kontemporer. Selama dia bukan termasuk orang yang mampu untuk melakukan ijtihad, maka dia termasuk dalam barisan para muqallidin.

Sebagian orang berpikir bahwa taqlid itu adalah hal yang tercela. Dan mereka berpikir bahwa taqlid itu terjadi ketika dia mengikuti suatu madzhab tertentu, sementara ketika dia mengikuti fatwa seorang ulama’ kontemporer tertentu maka itu bukan taqlid. Ini adalah pemahaman yang salah. Kita katakan: Taqlid itu ada dua jenis: taqlid yang tercela dan taqlid yang terpuji. Taqlid yang tercela adalah taqlid yang disertai dengan sikap fanatik buta pada ulama’ yang dia ikuti, sehingga dia melandaskan al-wala’ wal-bara’ dalam permasalahan khilafiyyah ijtihadiyyah yang seharusnya ruang untuk berbeda pendapat dalam masalah itu terbuka lapang.

Adapun taqlid yang terpuji adalah taqlid yang tidak disertai dengan sikap fanatik buta, yang dilakukan seseorang karena memang itulah yang hanya bisa dia lakukan. Dia tidak mampu untuk berijtihad, karena dia tidak mampu menyimpulkan hukum sendiri dari dalil-dalil syar’iy yang ada. Satu-satunya cara yang bisa dia lakukan adalah dengan bertanya kepada para mujtahid mengenai permasalahan yang dia hadapi. Jika dia melakukan hal ini, maka itu berarti dia telah melakukan perintah Allah kepadanya, yaitu, “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika engkau tidak mengetahui.” Itu mengapa hal ini adalah taqlid yang terpuji, karena memang itulah yang diperintahkan oleh Allah kepadanya.

Di sini penting bagi kita untuk mengetahui bahwa walaupun seseorang ketika bertanya kepada seorang ulama’ kontemporer kemudian ulama’ tersebut menyebutkan dalil-dalil dalam fatwanya sehingga penanya tadi mengetahui dalil-dalil yang ada pada masalah tersebut, maka itu tidak berarti bahwa seorang tadi sudah naik tingkat dari muqallid menjadi mujtahid. Itu karena dia hanya mengetahui lafazh dan makna zhahir dari dalil yang disebutkan oleh sang ulama’. Dia tidak mengetahui bagaimana metode pendalilan yang dipakai untuk menyimpulkan hukum dari dalil-dalil tersebut. Dia belum mengetahui apa itu lafazh nash, zhahir, ‘aam, khash, mujmal, mubayyan, muthlaq, muqayyad, haqiqah, majaz, dll. Dia tidak mengetahui mengapa dalil tersebut yang dipakai, mengapa bukan dalil yang lain? Dia tidak mengetahui apa saja syarat-syarat yang ada dalam fatwa mujtahid tersebut, karena sesungguhnya mujtahid tersebut memfatwakan hukum itu kepadanya karena mujtahid itu melihat bahwa kondisi penanya telah memenuhi syarat-syarat diberlakukannya hukum tersebut. Jika yang bertanya adalah orang lain dengan kondisi yang berbeda, maka bisa jadi fatwanya akan menjadi berbeda.

Dari sini kita ketahui bahwa hanya mujtahid yang boleh untuk berfatwa. Seorang muqallid hanya boleh untuk menukil fatwa, misalnya dengan berkata bahwa ini adalah fatwa Syaikh Fulan, dan tidak boleh baginya untuk berkata bahwa hukum Allah dalam masalah ini adalah demikian dan demikian. Bahkan para ulama’ juga memberikan peringatan kepada muqallid agar tidak sembarangan dalam menukil fatwa walaupun itu sekadar menukil, karena dia tidak mengetahui apa saja syarat-syarat berlakunya fatwa tersebut, dan apakah kondisi riil yang terjadi di lapangan telah memenuhi syarat-syarat itu atau tidak. Bahkan ketika seorang mujtahid itu dibolehkan untuk tidak berijtihad dan boleh baginya untuk mengikuti pendapat mujtahid lain karena waktunya sudah sedemikian sempit, maka para ulama’ berkata bahwa fatwa mujtahid lain tersebut hanya untuk dia amalkan saja, tidak boleh baginya untuk kemudian ikut berfatwa dengan fatwa tersebut kepada masyarakat tanpa melakukan proses ijtihad itu sendiri, karena dia pada asalnya adalah seorang mujtahid yang wajib untuk berijtihad. Syari’at membolehkan dia untuk melakukan taqlid kepada mujtahid lain dalam kondisi ini tidak lain karena kondisinya yang terdesak tidak cukup waktu untuk melakukan ijtihad sementara sudah harus melakukan amalan. Jika hal ini berlaku untuk seseorang yang sudah mampu untuk berijtihad dan telah mencapai derajat mujtahid, maka apalagi untuk orang yang masih berada dalam derajat muqallid.

Setelah kita mengetahui dua kategori manusia ini, yaitu mujtahid dan muqallid, maka kita dapat masuk pada pembahasan utama kita, yaitu haruskah aku bermadzhab? Para ulama’ berbeda pendapat dalam masalah ini.

Pendapat pertama: Wajib untuk melazimi madzhab tertentu, yaitu dengan mengikuti seluruh pendapat yang ada dalam madzhab tersebut. Ini adalah pendapat di madzhab Syafi’iy. Tajud-Din as-Subkiy rahimahullah berkata,

وأنه يجب التزام مذهب معيَّن يعتقده أرجح أو مساويا.

“Wajib untuk melazimi madzhab tertentu yang dia yakini lebih kuat atau setara.”[4]

Pendapat kedua: Tidak wajib untuk melazimi madzhab tertentu. Ini adalah pendapat di madzhab Hanbaliy. ‘Ala’ud-Din al-Mardawiy rahimahullah berkata,

ولا يلزم التمذهب بمذهب.

“Tidak wajib bagi seseorang untuk bermadzhab dengan madzhab tertentu.”[2]

Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah berkata,

أن من التزم مذهبا معيَّنا ثم فعل خلافه من غير تقليد لعالم آخر أفتاه، ولا استدلال بدليل يقتضي خلاف ذلك، ومن غير عذر شرعي يبيح له ما فعله، فإنه يكون متبعا لهواه، وعاملا بغير اجتهاد ولا تقليد، فاعلا للمحرم بغير عذر شرعي، فهذا منكر.

“Barangsiapa yang melazimi madzhab tertentu kemudian mengambil pendapat lainnya bukan karena taqlid kepada ulama’ lain yang memfatwakannya, dan bukan pula karena pendalilan dengan dalil yang membuat dia mengambil pendapat lain tersebut, dan tanpa ‘udzur syar’iy yang membolehkan dia untuk melakukan hal tersebut, maka dia telah mengikuti hawa nafsunya dan mengamalkan suatu pendapat tanpa ijtihad dan juga tanpa taqlid, dan dia telah melakukan suatu perbuatan yang haram tanpa adanya ‘udzur syar’iy, maka ini adalah kemungkaran.”

Kemudian beliau rahimahullah berkata,

وأما إذا تبيَّن له ما يوجب رجحان قول على قول، إما بالأدلة المفصَّلة إن كان يعرفها ويفهمها، وإما بأن يرى أحد رجلين أعلم بتلك المسألة من الآخر، وهو أتقى لله فيما يقوله، فيرجع عن قول إلى قول لمثل هذا، فهذا يجوز، بل يجب! وقد نص الإمام أحمد على ذلك.

“Adapun jika tampak jelas baginya bahwa pendapat lain itu lebih kuat, baik dengan pendalilan yang terperinci jika dia mengetahui dan memahami pendalilan tersebut, atau karena dia melihat ulama’ lain yang memilih pendapat itu lebih berilmu dalam masalah tersebut daripada selainnya, dan ulama’ tersebut lebih bertakwa kepada Allah mengenai apa yang beliau ucapkan, sehingga dia memilih pendapat lain tersebut karena sebab seperti ini, maka ini boleh, bahkan wajib! Dan Imam Ahmad telah menyatakan hal ini.”[5]

Dari kalangan Syafi’iyyah yang memilih pendapat ini adalah Imam an-Nawawiy rahimahullah, di mana beliau berkata,

والذي يقتضيه الدليل أنه لا يلزمه التمذهب بمذهب، بل يستفتي من شاء أو من اتفق، لكن من غير تلقط الرخص، ولعل من منعه لم يثق بعدم تلقطه.

“Adapun yang ditunjukkan oleh dalil adalah bahwa tidak wajib bagi seseorang untuk melazimi madzhab tertentu. Akan tetapi, dia boleh untuk meminta fatwa kepada ulama’ mujtahid siapa pun yang dia kehendaki atau yang dia temui, akan tetapi tidak boleh mencari-cari keringanan. Para ulama’ yang melarang hal ini bisa jadi tidak yakin akan tidak adanya perbuatan mencari-cari keringanan ini.”[6]

Pendapat kedua ini adalah pendapat yang kami lebih condong kepadanya. Perhatikan bahwa tidak boleh bagi kita untuk su’uzhan kepada para ulama’ yang memilih pendapat pertama, sebagaimana perkataan Imam an-Nawawiy rahimahullah di atas, “Para ulama’ yang melarang hal ini (yakni, melarang untuk meminta fatwa kepada ulama’ mujtahid siapa pun yang dia kehendaki -penj.) bisa jadi tidak yakin akan tidak adanya perbuatan mencari-cari keringanan ini.”

Yang dimaksud dengan perbuatan mencari-cari keringanan ini adalah ketika seseorang memilih pendapat lain karena sekadar mengikuti hawa nafsunya, bukan karena pendalilan dari pendapat tersebut dia nilai lebih kuat (jika dia sudah mengerti berbagai ilmu alat seperti ushul fikih sehingga bisa memahami mana pendalilan yang lebih kuat), dan bukan pula karena dia mengikuti ulama’ mujtahid yang dia nilai lebih berilmu dan lebih bertakwa. Selalu mencari-cari pendapat yang paling ringan itu haram, dan perbuatan ini telah banyak dicela oleh para ulama’. Tidak boleh bagi kita untuk melakukan fatwa shopping, di mana kita memilih-milih fatwa para ulama’ yang paling sesuai selera kita sebagaimana ketika kita sedang berbelanja. Dan tidak boleh juga bagi kita untuk memilih fatwa seperti kita sedang makan prasmanan, yaitu berbagai makanan sudah tersedia di meja dan kita tinggal pilih-pilih mana makanan yang sesuai selera kita. Perbuatan ini disebutkan sebagai kemungkaran oleh Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah, sebagaimana yang telah kami nukilkan perkataan beliau di atas.

Oleh karena itu, kita simpulkan bahwa tidak wajib bagi kita untuk melazimi madzhab tertentu, di mana kita harus mengikuti seluruh pendapat yang ada dalam madzhab tersebut. Akan tetapi, boleh bagi kita untuk bertanya kepada para ulama’ mujtahid yang Allah mudahkan bagi kita untuk bertanya kepada mereka mengenai berbagai permasalahan kita. Jika kita mengetahui ada dua pendapat atau lebih dari berbagai para ulama’ mujtahid dalam satu permasalahan yang sama, maka jika kita mampu memahami dan mencerna alur pendalilan dari masing-masing pendapat tersebut, kita harus memilih pendapat yang paling kuat. Jika kita tidak bisa melakukan hal ini, maka kita pilih pendapat dari ulama’ mujtahid yang lebih berilmu dan lebih bertakwa.

Akan tetapi, bagi para penuntut ilmu yang ingin belajar fikih secara terstruktur dan terkurikulum, sehingga dia ingin naik tingkat dan naik kelas dalam ilmu fikihnya, maka sangat direkomendasikan baginya untuk belajar fikih dengan menggunakan kurikulum madzhab. Dia mulai proses belajarnya dari matan yang ringkas untuk penuntut ilmu tingkat pemula, kemudian beranjak ke matan yang lebih tebal untuk penuntut ilmu tingkat menengah, sebelum kemudian dia bisa mencerna matan yang lebih tebal lagi untuk penuntut ilmu tingkat lanjutan. Jika dia mempelajari fikih menggunakan metode ini, maka itu akan memudahkannya untuk menaiki tangga ilmu, sebab dia akan menjadi kokoh dengan satu sudut pandang pendalilan terlebih dahulu sebelum dia masuk ke ranah khilaf yang ada di kalangan para ulama’. Ingat, masalah fikih itu banyak sekali, dan metode pendalilan yang digunakan oleh para ulama’ pun tidak bisa dipahami dengan cepat — kecuali oleh orang yang dirahmati oleh Allah. Dengan mempelajari fikih menggunakan satu sudut pandang terlebih dahulu, yaitu sudut pandang madzhab yang sedang dia pelajari tersebut, akan membuat seorang penuntut ilmu memiliki malakah fiqhiyyah atau kompetensi fikih yang kokoh, sebelum kemudian dia menceburkan dirinya ke dalam lautan khilaf yang ada di kalangan para fuqaha’. Jika tidak ingin tenggelam dan tersesat dalam lautan yang luas dan dalam ini, maka perkuatlah kemampuan kita terlebih dahulu dengan cara belajar fikih secara terstruktur dan terkurikulum menggunakan kurikulum madzhab, tanpa disertai fanatik buta tentunya.

Itu mengapa kami tuliskan judul artikel ini sebagai, “Haruskah Aku Bermadzhab?” dan bukan, “Haruskah Kita Bermadzhab?” untuk mengingatkan bahwa hukum untuk setiap orang dalam masalah ini berbeda, apakah dia seorang awam kaum muslimin yang tidak ingin mendalami ilmu fikih, atau apakah dia adalah seorang penuntut ilmu yang ingin menaiki tangga ilmu fikih dengan mudah dan selamat dari rapuhnya pondasi ilmu dan berbagai kontradiksi ketika berfatwa, bi-idznillah.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kita taufiq untuk selalu menuntut ilmu syar’iy demi meraih ridha-Nya.

Penulis: Ustadz Dr. Andy Octavian Latief
Artikel Al-Minhaj Institute

Sebelumnya telah dimuat juga di muslim.or.id.

Catatan Kaki:
  1. Surat an-Nahl: 43. []
  2. Lihat kitab Tahrirul-Manqul wa Tahdzibu ‘Ilmil-’Ushul, karya ‘Ala’ud-Din al-Mardawiy rahimahullah. [][]
  3. Idem. []
  4. Lihat kitab Jam’ul-Jawami’, karya Tajud-Din as-Subkiy rahimahullah. []
  5. Lihat kitab Majmu’ Fatawa Syaikhil-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah. []
  6. Lihat kitab Raudhatuth-Thalibin, karya an-Nawawiy rahimahullah. []

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top