Jika sejumlah uang ditukar dengan sejumlah uang lainnya di mana keduanya adalah dalam mata uang yang sama, maka wajib terpenuhi dua syarat agar transaksi ini tidak menjadi transaksi ribawi. Kedua syarat tersebut adalah:
- Jumlahnya harus sama.
- Harus yadan bi-yadin, alias harus kontan atau tunai.
Adapun dalam transaksi utang-piutang, seperti ketika A memberikan utang kepada B, maka itu berarti B harus membayarkan sejumlah uang yang sama kepada A setelah jangka waktu tertentu. Transaksi utang-piutang ini sebenarnya adalah transaksi tukar-menukar antara sejumlah uang dengan sejumlah uang lainnya. Oleh karena itu, sebenarnya harus terpenuhi dua syarat di atas.
Pertama, jumlahnya harus sama. Jika B harus memberikan sejumlah uang yang lebih besar daripada jumlah uang yang dia pinjam awalnya dari A, maka ini adalah riba dan hukumnya haram.
Kedua, harus yadan bi-yadin, alias harus kontan atau tunai. Maka perhatikan bahwa transaksi utang-piutang itu tidak memenuhi syarat ini, sebab B baru memberikan sejumlah uang kepada A setelah jangka waktu tertentu, tidak pada saat yang sama ketika A memberikannya pinjaman uang.
Itu mengapa transaksi utang-piutang sebenarnya masuk dalam definisi transaksi ribawi. Akan tetapi, syari’at membolehkan transaksi utang-piutang dalam rangka untuk mengangkat kesulitan dari kaum muslimin. Oleh karena itu, jika transaksi utang-piutang dijadikan sebagai transaksi komersial untuk meraih keuntungan, seperti yang banyak terjadi dalam dunia perbankan konvensional, maka hukumnya kembali menjadi haram, sebagaimana kaidah
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا.
“Semua utang yang membawa manfaat maka itu adalah riba.”
Penulis: Ustadz Dr. Andy Octavian Latief
Artikel Al-Minhaj Institute