Tata Cara Qadha’ Puasa Ramadhan
Disunnahkan untuk menyegerakan qadha’ puasa Ramadhan dan melaksanakannya secara berturutan, karena lebih cepat dalam mengerjakan kewajiban itu lebih utama. Akan tetapi, boleh baginya untuk mengakhirkan qadha’ selama belum masuk bulan Ramadhan berikutnya. Jika waktu yang tersisa sebelum Ramadhan berikutnya adalah sama dengan jumlah hari yang harus dia qadha’, maka wajib baginya untuk mengqadha’. Dengan kata lain, larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpuasa setelah pertengahan Sya’ban1 itu tidak berlaku dalam kasus ini.
Jika dia tidak melakukan qadha’ sampai masuk bulan Ramadhan berikutnya karena adanya ‘udzur, maka dia tidak berdosa. Misalnya, jika seseorang sakit hingga Ramadhan berikutnya, atau safar hingga Ramadhan berikutnya, atau wanita yang hamil dan menyusui hingga Ramadhan berikutnya, maka tidak mengapa bagi mereka untuk mengakhirkan qadha’ setelah Ramadhan berikutnya tersebut.
Namun, jika tanpa ‘udzur, maka dia telah berdosa, dan wajib baginya qadha’ dan membayar fidyah, yaitu memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari yang dia terlambat melakukan qadha’ tanpa ‘udzur.
Boleh baginya untuk melakukan puasa sunnah sebelum melakukan qadha’ puasa Ramadhan selama waktunya masih cukup untuk melakukan qadha’, sebagaimana boleh bagi seseorang untuk shalat sunnah sebelum melakukan shalat fardhu selama waktunya masih cukup untuk melakukan shalat fardhu tersebut. Hukum ini juga berlaku untuk enam hari puasa sunnah Syawwal. Akan tetapi, tentunya lebih utama untuk mendahulukan qadha’ puasa Ramadhan terlebih dahulu, karena lebih cepat dalam mengerjakan kewajiban itu lebih utama.
Tata Cara Membayar Fidyah
Seseorang membayar fidyah bisa dengan cara memberikan makanan yang sudah matang sesuai porsi normal secara ‘urf kepada seorang miskin, untuk mengganti satu hari puasa. Atau bisa dengan cara memberikan bahan makanan pokok, berupa satu mud gandum (0,75 kg) atau setengah sha’ (dua mud = 1,5 kg) bahan makanan pokok lainnya.
Adapun tentang waktu membayar fidyah, maka boleh baginya untuk membayarnya pada hari itu juga di bulan Ramadhan atau pada hari-hari setelahnya di luar bulan Ramadhan, dengan catatan bahwa dia tidak boleh memberikan kepada satu orang miskin melebihi porsi fidyah untuk satu hari. Kemudian, tidak boleh baginya untuk mengawalkan pembayaran fidyah sebelum hari puasa yang ditinggalkan, karena mengawalkan pembayaran fidyah itu sama dengan mengawalkan ibadah puasa.
Tata Cara Membayar Kaffarah Jima’
Kaffarah jima’ adalah seperti kaffarah zhihar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَالَّذينَ يُظـٰهِرونَ مِن نِسائِهِم ثُمَّ يَعودونَ لِما قالوا فَتَحريرُ رَقَبَةٍ مِن قَبلِ أَن يَتَماسّا ۚ ذٰلِكُم توعَظونَ بِهِ ۚ وَاللَّـهُ بِما تَعمَلونَ خَبيرٌ * فَمَن لَم يَجِد فَصِيامُ شَهرَينِ مُتَتابِعَينِ مِن قَبلِ أَن يَتَماسّا ۖ فَمَن لَم يَستَطِع فَإِطعامُ سِتّينَ مِسكينًا
“Orang-orang yang melakukan zhihar kepada istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka wajib atas mereka untuk memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah apa yang diajarkan kepada kalian, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan budak, maka wajib atasnya untuk berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa wajiblah atasnya untuk memberi makan enam puluh orang miskin.”2
Maka, membayar kaffarah jima’ dapat dilakukan dengan:
- Membebaskan budak.
- Jika tidak mampu, maka berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika ada ‘udzur syar’iy, seperti sakit, safar, haidh dan nifas bagi wanita, atau berbenturan dengan hari-hari yang diharamkan berpuasa, seperti dua hari raya ‘id dan tiga hari tasyriq, maka puasanya tetap dianggap berturut-turut.
- Jika tidak mampu, maka memberi makan enam puluh orang miskin.
Jika seseorang melakukan jima’ berkali-kali pada siang hari bulan Ramadhan, maka terdapat dua kemungkinan berikut:
- Dia mengulangi jima’nya pada hari yang berbeda-beda. Maka dia harus membayar kaffarah untuk setiap jima’ yang dia lakukan pada hari yang berbeda-beda tersebut.
- Dia mengulangi jima’nya pada hari yang sama. Pada kasus ini, terdapat dua kemungkinan berikut:
- Dia belum membayar kaffarah atas jima’nya yang pertama. Maka dia cukup untuk membayar kaffarah satu kali saja.
- Dia sudah membayar kaffarah atas jima’nya yang pertama. Maka dia harus membayar kaffarah lagi untuk jima’nya yang kedua.
Jika seseorang tidak mampu untuk membayar kaffarah jima’ ini, maka gugur baginya kewajiban tersebut.
Catatan: Artikel ini adalah bagian dari buku kami Tuntunan Ibadah Ramadhan di Tengah Wabah Corona. Bagian lainnya dari buku ini yang berkaitan dengan fikih puasa Ramadhan dapat disimak di sini.
Penulis: Ustadz Dr. Andy Octavian Latief
Artikel Al-Minhaj Institute