Allah Subhanahu wa Ta’ala banyak sekali menyeru kaum muslimin di dalam al-Qur’an dengan menyebutkan sifat iman yang ada pada diri mereka, sebelum memerintahkan mereka untuk melakukan sesuatu atau melarang mereka dari sesuatu. Yaitu, ketika Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
“Wahai orang-orang yang beriman…”
Syaikh ‘Abdur-Rahman ibn Nashir as-Sa’diy rahimahullah menjelaskan dalam kitab beliau al-Qawa’idul-Hisan bahwa ada dua makna yang terkandung dalam seruan ini.
Pertama: Allah Subhanahu wa Ta’ala hendak menjelaskan kepada kita bahwa konsekuensi dari sifat iman yang ada pada diri kita adalah melaksanakan apa yang Allah perintahkan dan menjauhi apa yang Allah larang. Tidak pantas bagi seseorang yang mengaku beriman kepada Allah untuk kemudian tidak mengindahkan perintah dan larangan dari-Nya.
Kedua: Allah Subhanahu wa Ta’ala hendak mengingatkan kepada kita bahwa keimanan adalah nikmat terbesar yang Allah berikan kepada para hamba-Nya yang wajib untuk kita syukuri. Bersamaan dengan itu, Allah juga mengajarkan kepada kita bagaimana cara mensyukuri nikmat iman tersebut secara terperinci, yaitu dengan cara tunduk kepada setiap perintah dan larangan-Nya.1
Syaikh Muhammad ibn Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan hikmah lainnya dari seruan ini, yaitu bahwa iman adalah sesuatu yang dicintai oleh setiap orang yang berakal. Maka, itu mengapa Allah Subhanahu wa Ta’ala menyeru kaum muslimin dengan seruan tersebut sebelum memerintahkan mereka untuk melakukan sesuatu atau melarang mereka dari sesuatu. Tujuannya adalah agar lebih mudah bagi mereka untuk tunduk pada perintah dan larangan Allah tersebut.2
Itu mengapa wajib bagi kita untuk memperhatikan dengan saksama ketika ayat-ayat yang berisi seruan ini sedang dibacakan. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
وإذا سمعت الله يقول: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا}، فأرعها سمعك، فإنه خير يُؤمَر به، أو شر يُنهَى عنه.
“Jika engkau mendengar Allah berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman,’ maka dengarkanlah baik-baik, karena setelah itu ada sebuah kebaikan yang hendak diperintahkan, atau sebuah keburukan yang hendak dilarang.”3
Semoga dengan melaksanakan dan memiliki perhatian penuh pada perintah Allah yang disebutkan setelah Allah menyeru orang-orang yang beriman, maka Allah memasukkan kita ke dalam tempat yang dipersiapkan hanya untuk orang-orang yang beriman di akhirat kelak: Surga Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Penulis: Ustadz Dr. Andy Octavian Latief
Artikel Al-Minhaj Institute
- al-Qawa’idul-Hisan, karya ‘Abdur-Rahman ibn Nashir as-Sa’diy, Kaidah Kesembilan (hlm. 40), dicetak bersama dengan kitab at-Ta’liq ‘ala al-Qawa’idil-Hisan karya Muhammad ibn Shalih al-‘Utsaimin, terbitan Dar Ibn al-Jauziy (Riyadh), cetakan kedua, tahun 1435 H. [↩]
- Liqa’ al-Bab al-Maftuh, Muhammad ibn Shalih al-‘Utsaimin, Pertemuan 50. [↩]
- Hilyatul-Auliya’ wa Thabaqatul-Ashfiya’, karya Ahmad ibn ‘Abdillah Abu Nu’aim al-Ashbahaniy (1/ 130), terbitan Maktabah al-Khanjiy (Kairo) dan Darul-Fikr (Beirut), tahun 1416 H. [↩]