Seorang musafir, jika dia dalam safar yang diperbolehkan untuk mengqashar shalat, maka dia memiliki tiga kemungkinan sebagai berikut:
Pertama: Jika dia tidak mendapati kesulitan untuk berpuasa saat safar, maka tetap berpuasa itu lebih baik baginya. Dalam hadits Hamzah ibn ‘Amr al-Aslamiy radhiyallahu ‘anhu ketika beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apakah boleh untuk berpuasa ketika safar, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
إن شئت فصم وإن شئت فأفطر.
“Jika engkau mau maka puasalah. Dan jika engkau mau maka berbukalah.”1
Demikian pula, Abud-Darda’ radhiyallahu ‘anhu berkata,
خرجنا مع النبي صلى الله عليه وسلم في بعض أسفاره في يوم حار حتى يضع الرجل يده على رأسه من شدة الحر، وما فينا صائم إلا ما كان من النبي صلى الله عليه وسلم وابن رواحة.
“Kami pergi bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu safar beliau di sebuah hari yang panas sampai-sampai orang harus meletakkan tangannya di atas kepalanya karena saking panasnya. Dan tidaklah ada di antara kami yang berpuasa kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Ibn Rawahah.”2
Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,
كنا نسافر مع النبي صلى الله عليه وسلم فلم يعب الصائم على المفطر ولا المفطر على الصائم.
“Kami safar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka orang yang berpuasa tidak mencela orang yang tidak berpuasa, dan orang yang tidak berpuasa tidak mencela orang yang berpuasa.”3
Kedua: Jika seseorang merasa berat apabila berpuasa saat safar, maka baginya rukhshah untuk tidak berpuasa.
Ketiga: Jika seseorang mendapati kesulitan dan madharat yang besar untuk berpuasa saat safar, maka haram baginya untuk berpuasa, sebagaimana hadits Jabir ibn ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma di mana beliau berkata,
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر، فرأى زحاما ورجلا قد ظُلِّل عليه، فقال: ما هذا؟ فقالوا: صائم. فقال: ليس من البر الصوم في السفر.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang safar, kemudian beliau melihat kerumunan orang dan seseorang yang dinaungi oleh mereka. Beliau berkata, ‘Ada apa?’ Para sahabat menjawab, ‘Seseorang sedang berpuasa.’ Maka beliau bersabda, ‘Bukan termasuk kebaikan, berpuasa ketika safar.’”4
Jika seseorang tidak berpuasa ketika safar, maka wajib baginya untuk mengqadha’ puasa yang ditinggalkannya tersebut setelah bulan Ramadhan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَمَن كانَ مِنكُم مَريضًا أَو عَلىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِن أَيّامٍ أُخَرَ
“Maka barangsiapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”5
Bagaimana jika seseorang yang sudah tidak mampu lagi untuk berpuasa, misalnya orang yang sangat sepuh yang tidak mampu lagi untuk berpuasa atau orang yang sakit dan tidak diharapkan lagi kesembuhannya, kemudian safar? Dalam kasus ini, tetap wajib baginya untuk membayar fidyah. Tidak kita katakan bahwa dia tidak lagi wajib membayar fidyah sebagaimana orang yang safar tidak wajib untuk berpuasa, karena memang mereka tidak wajib untuk berpuasa dari awal. Yang wajib bagi mereka adalah membayar fidyah, dan tidak ada perbedaan antara muqim dan musafir dalam masalah fidyah.
Catatan: Artikel ini adalah bagian dari buku kami Tuntunan Ibadah Ramadhan di Tengah Wabah Corona. Bagian lainnya dari buku ini yang berkaitan dengan fikih puasa Ramadhan dapat disimak di sini.
Penulis: Ustadz Dr. Andy Octavian Latief
Artikel Al-Minhaj Institute