Ada tiga cara untuk menentukan awal Ramadhan.
Pertama: Melihat hilal. Jika hilal terlihat, maka itulah awal Ramadhan. Jika hilal tidak terlihat padahal langit cerah, maka belum masuk awal Ramadhan.
Kedua: Melengkapi Sya’ban menjadi tiga puluh hari, jika hilal tidak bisa terlihat karena tertutup mendung.
Dalil dari kedua cara ini adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غُبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين.
“Berpuasalah kalian ketika melihat hilal dan berhentilah berpuasa ketika melihat hilal. Jika tertutup mendung, maka lengkapilah hitungan Sya’ban tiga puluh hari.”1
Hari di mana kita tidak bisa melihat hilal karena tertutup mendung ini disebut yaumusy-syakk, yaitu hari yang meragukan apakah hilal sebenarnya sudah muncul atau tidak. Akan tetapi, sebuah kaidah fikih mengatakan,
اليقين لا يزول بالشك.
“Sesuatu yang yakin tidak bisa dihilangkan oleh keraguan.”
Pada awalnya kita berada di bulan Sya’ban, kemudian muncul keraguan apakah Ramadhan sudah masuk atau tidak. Maka, keraguan ini tidak bisa menghilangkan sesuatu yang yakin. Itu mengapa kita melengkapi bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.
Ketiga: Kabar dari satu orang yang terpercaya bahwa dia telah melihat hilal. Dalilnya adalah hadits ‘Abdullah ibn ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma di mana beliau berkata,
تراءى الناس الهلال فأخبرت رسول الله صلى الله عليه وسلم أني رأيته فصامه وأمر الناس بصيامه.
“Orang-orang sedang berusaha melihat hilal, maka aku mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihatnya. Maka beliau pun berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa.”2
Hukum ini juga berlaku bagi perempuan yang terpercaya, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berpuasalah kalian ketika melihat hilal dan berhentilah berpuasa ketika melihat hilal,” tidak membatasi bahwa yang melihat haruslah laki-laki.
Dalam penentuan awal Ramadhan (dan juga Syawwal) ini, hendaknya kita mengikuti keputusan pemerintah. Dan tidak boleh menentukan dengan menggunakan metode hisab, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berpuasalah kalian ketika melihat hilal dan berhentilah berpuasa ketika melihat hilal.” Pada hadits ini, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dua hal: tanda alam dari awal dan akhir Ramadhan, dan metode untuk mengetahui tanda alam tersebut. Tanda alam yang dimaksud adalah munculnya hilal, dan metode untuk mengetahuinya adalah dengan melihat. Oleh karena itu, tidak boleh bagi kita untuk menggunakan metode hisab. Adapun jika kita menggunakan alat bantu penglihatan seperti teropong, maka tidak masalah.
Jika demikian, mengapa kita boleh menggunakan metode hisab untuk menentukan waktu shalat fardhu? Itu karena dalil-dalil yang berbicara tentang waktu shalat hanya menyebutkan tanda alam dari masuknya waktu shalat tersebut dan tidak menyebutkan metodenya, seperti dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
أَقِمِ الصَّلوٰةَ لِدُلوكِ الشَّمسِ إِلىٰ غَسَقِ الَّيلِ وَقُرءانَ الفَجرِ
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam, dan dirikanlah pula shalat shubuh.”3
Catatan: Artikel ini adalah bagian dari buku kami Tuntunan Ibadah Ramadhan di Tengah Wabah Corona. Bagian lainnya dari buku ini yang berkaitan dengan fikih puasa Ramadhan dapat disimak di sini.
Penulis: Ustadz Dr. Andy Octavian Latief
Artikel Al-Minhaj Institute