Di antara wasiat Imam Malik rahimahullah yang sangat menyentuh bagi kita di era media sosial ini adalah perkataan beliau,
المراء في العلم يقسِّي القلب ويورث الضغن.
“Berdebat dalam masalah ilmu bisa mengeraskan hati dan menimbulkan kebencian.”
Banyak sekali kita melihat perdebatan tanpa ujung terjadi di halaman demi halaman dari media sosial, yang justru seringkali diramaikan oleh orang-orang awam yang tidak memahami permasalahan yang sedang mereka bicarakan itu dengan pemahaman yang benar.
Ketika dinasihati untuk mempelajari bahasa Arab seperti nahwu dan sharaf serta bidang-bidang ilmu syar’iy lainnya seperti ilmu ushul fiqh sebelum banyak berbicara dan berdebat, sebagian dari mereka berkata, “Orang yang paham dan menguasai bahasa Arab saja banyak yang sesat kok! Bahasa Arab bukanlah jaminan selamatnya akidah dan manhaj seseorang!”
Allahul-Musta’an…
Pertama: Saudaraku, bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdoa meminta tambahan ilmu? Dan bukankah bahasa Arab adalah bagian dari ilmu? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Wahai Rabb-ku, tambahkanlah ilmu kepadaku.’”1
Kedua: Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan bahwa tidak sama derajat seorang yang berilmu dengan yang tidak berilmu? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Adakah sama orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu?’”2
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,
يَرْفَعِ اللَّـهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”3
Ketiga: Bukankah para ulama’ telah menjelaskan bahwa iman tidak bisa diraih kecuali dengan ilmu? Itu mengapa Syaikh Muhammad ibn ‘Abdil-Wahhab rahimahullah menyebutkan dalam kitab beliau al-Ushul ats-Tsalatsah empat hal yang wajib diketahui dan dipelajari oleh setiap muslim, dan bahwa yang pertama adalah
العلم، وهو معرفة الله، ومعرفة نبيه، ومعرفة دين الإسلام بالأدلة.
“Ilmu, yaitu mengetahui tentang Allah, mengetahui tentang Nabi-Nya, dan mengetahui tentang agama Islam dengan dalil-dalilnya.”
Kemudian beliau rahimahullah berdalil dengan Surat al-’Ashr, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا
“Kecuali orang-orang yang beriman…”4
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata,
إلا الذين آمنوا، هذه هي المسألة الأولى: العلم، لأن الإيمان لا يكون إلا بعلم، وهو معرفة الله عز وجل، معرفة نبيه، ومعرفة دين الإسلام بالأدلة.
“‘Kecuali orang-orang yang beriman,’ Inilah hal yang pertama, yaitu ilmu, karena iman tidak bisa diraih kecuali dengan ilmu, yaitu mengetahui tentang Allah ‘Azza wa Jalla, mengetahui tentang Nabi-Nya, dan mengetahui tentang agama Islam dengan dalil-dalilnya.”
Keempat: Bukankah ilmu dan menghadiri majelis ilmu, termasuk di antaranya majelis yang mengajarkan bahasa Arab, adalah di antara sebab untuk mendapatkan hidayah? Syaikh ‘Abdul-’Aziz Ibn Baz rahimahullah berkata,
ومن أسباب الهداية: حضور حلقات العلم من أهل العلم، المشايخ المعروفين بالخير، يجلس عندهم ويسمع حلقات العلم ويستفيد.
“Di antara sebab hidayah adalah menghadiri majelis ilmu yang diajarkan oleh para ahli ilmu, para masyayikh yang telah dikenal dengan kebaikan, duduk di hadapan mereka, mendengarkan majelis ilmu, dan mengambil faidah darinya.”5
Kelima: Na’am, ada di antara orang-orang yang dianggap berilmu yang merupakan orang-orang fasiq, ulama’ su’, dan orang-orang yang menyimpang dari akidah dan manhaj yang lurus. Itu mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kita untuk berdoa meminta ilmu yang bermanfaat, sebagaimana pada hadits Umm Salamah radhiyallahu ‘anha, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اللهم إني أسألك علما نافعا، ورزقا طيبا، وعملا متقبلا.
“Ya Allah, aku meminta kepada Engkau ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amalan yang diterima.”6
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan kita untuk berlindung dari ilmu yang tidak bermanfaat, sebagaimana pada hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سلوا الله علما نافعا، وتعوَّذوا بالله من علم لا ينفع.
“Mintalah kepada Allah ilmu yang bermanfaat, dan berlindunglah kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat.”7
Dan sebagaimana pada hadits Zaid ibn Arqam radhiyallahu ‘anhu, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اللهم إني أعوذ بك من علم لا ينفع، ومن قلب لا يخشع، ومن نفس لا تشبع، ومن دعوة لا يُستجاب لها.
“Ya Allah, aku berlindung kepada Engkau dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak tunduk, dari jiwa yang tidak puas, dan dari doa yang tidak diterima.”8
Apakah dengan adanya orang-orang yang ilmunya tidak bermanfaat tersebut kemudian Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lagi memerintahkan dan memotivasi kita untuk menuntut ilmu? Tidak sama sekali! Adanya orang-orang yang menyimpang tersebut tidaklah mengubah hukum disyari’atkannya menuntut ilmu dan disyari’atkannya mengangkat kejahilan dalam perkara-perkara agama ketika kita mampu melakukannya. Menuntut ilmu itu tetaplah merupakan amalan ibadah, walaupun bisa jadi di luar sana ada orang yang berilmu tetapi ilmunya tidak bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.
Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah berkata tentang ahlul-kalam,
أنهم أوتوا فهوما ولم يؤتوا علوما، وأوتوا ذكاء ولم يؤتوا زكاء.
“Mereka diberikan pemahaman tetapi tidak diberikan ilmu. Dan mereka diberikan kecerdasan tetapi tidak diberikan kesucian hati.”
Hati yang kotor dan tidak suci, inilah yang membuat sebagian orang menapaki jalan yang menyimpang walaupun secara zhahir mereka adalah orang-orang yang berilmu. Itu mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk berlindung dari ilmu yang tidak bermanfaat dan hati yang tidak tunduk kepada Allah. Menuntut ilmu tetaplah merupakan perkara yang disyari’atkan dan diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bersamaan dengan itu kita juga diperintahkan untuk berlindung dari ilmu yang tidak bermanfaat dan hati yang tidak bertakwa.
Oleh karena itu, janganlah kemudian berkilah, “Orang yang ahli bahasa Arab juga banyak yang sesat kok!” Akan tetapi, milikilah husnuzhan kepada Allah dan berdoalah kepada-Nya, agar kita dimudahkan untuk menuntut ilmu agama-Nya dan agar kita diberikan ilmu yang bermanfaat, hati yang tunduk, jiwa yang puas, dan doa yang diijabah.
Keenam: Terimalah nasihat walaupun itu diucapkan oleh lawan debat kita. Jika memang benar orang yang menasihati kita untuk belajar bahasa Arab tersebut telah menyimpang, itu tidaklah menafikan kebenaran nasihatnya bahwa kita memang harus belajar bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu syar’iy lainnya dengan lebih giat lagi. Janganlah kemudian kita menolak nasihatnya tersebut dengan mengucapkan perkataan yang menafikan terpujinya dan disyari’atkannya belajar bahasa Arab dan bidang ilmu syar’iy lainnya.
‘Ala kulli hal, tidaklah pantas bagi seorang penuntut ilmu pemula, apalagi orang awam, untuk banyak berbicara dan berdebat, baik secara langsung ataupun di media sosial. Yang banyak terjadi adalah justru mereka memperdebatkan perkara khilafiyyah ijtihadiyyah yang seharusnya tidak menjadi sumber pertikaian. Akan tetapi, karena belum belajar bahasa Arab dan bidang ilmu syar’iy lainnya, sehingga alatnya untuk mengetahui kebenaran menjadi terbatas hanya pada satu kitab, satu buku, satu guru, atau satu syaikh, maka perkara khilafiyyah ijtihadiyyah pun justru dijadikan olehnya sebagai tolak ukur al-wala’ wal-bara’.
Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ما ضل قوم بعد هدى كانوا عليه إلا أوتوا الجدل.
“Tidaklah sebuah kaum itu menyimpang setelah awalnya berada di atas hidayah, kecuali setelah mereka suka berdebat.”9
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan kita hidayah dan taufiq.
Penulis: Ustadz Dr. Andy Octavian Latief
Artikel Al-Minhaj Institute
- Surat Thaha: 114. [↩]
- Surat az-Zumar: 9. [↩]
- Surat al-Mujadalah: 11. [↩]
- Surat al-’Ashr: 3. [↩]
- Baca di sini. [↩]
- Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ibn Majah (no. 925). [↩]
- Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ibn Majah (no. 3843). [↩]
- Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2722). [↩]
- Hadits hasan, diriwayatkan oleh at-Tirmidziy (no. 3253) dan Ibn Majah (no. 48). [↩]